Dakwah Pasca Kampus part 1

Mohon maaf bila tulisan ini repost dari Embun Tarbiyah Mengantarkan kalam untuk pembaca, menebar benih kebaikan dan pengingatan untuk saudara/nya, semoga dapat diambil hikmahnya, smoga mengalir juga pahala untuk penulisnya..
Da’i itu tidak ‘steril’ tapi ‘imun’ (Dakwah Pasca Kampus bag, I) Da’i itu tidak ‘steril’ tapi ‘imun’. artinya vaksin Ruhul Islam menyebabkan ia memiliki ketahanan untuk menghadapi segala macam situasi dunia yang ada di sekitarnya. Kata-kata ini merupakan nasihat yang sangat berharga bagi para kader da‘wah. Perubahan situasi dan kondisi dimana seorang kader da‘wah hidup dan berinteraksi di dalamnya, seharusnya tidak boleh membuat kondisi pribadi da’i menjadi berubah atau terpecah. Perubahan dari dunia kam pus menuju dunla pasca kampus yang ‘bebas’ memang membawa konsekuensi-konsekuensi tensendiri. Seseorang jelas mendambakan ruang dan media dimana ia bisa mengekspresikan keilmuan dan kemampuannya selama ini yang digali di kampus. Di sisi lain dunia pasca kampus sering membawa orang kehilangan onientasi. Apalagi ketika penyakit alergi terhadap suasana heterogen mulai kambuh. Degup jantung yang semakin kuat mengimbangi kompetisi dan persaingan kerja yang semakin tinggi. rutinitas yang membosankan mulai merayap di dalam jiwa. Sampai akhimya merasakan lunturnya orientasi dari bekerja untuk ibadah menjadi sekedar mencari uang. Semua hal tersebut mendorong Al-lzzah untuk rnencoba me-reorientasikan kembali perjalanan da’wah pasca kam pus. Dalam rangka itulah Al-lzzah menemui seorong tokoh muda yang cukup dikenal di semua kalangan, baik masyarakat kampus maupun dunia luar kampus. Beliau adalah Fahmi Hamzah.SE. Pria yang lahir di Sumbawa, (10 November 1971, semasa di kampus termasuk aktivis dengan segudang aktivitas organisasi yang beliau geluti antara lain ketua FSI FEUI, ketua LITBANG SMU, editor warta UI, ketua KAMMI pertama dan masih banyak lagi. Namun segudang aktivitasnya tersebut beliau imbangi dengan prestasi belajar yang akhirnya menjadi dosen di program ekstensi FEUI. Sungguh pengalaman berharga bisa berdiskusi dengan beliau. Dalam perbincangan kami ada semangat membara, ada visi cerdas, ada dorongan untuk berprestasi, ada harapan yang mendesak untuk diwujudkan. Semuanya khas kaum muda dan kami ingin membaginya dengan anda. Berikut kutipannya… Peralihan dari dunia kampus kepada dunia kerja tak pelak lagi akan membawa perubahan-perubahan yang cukup besar bagi para kader da’wah. Banyak di antara kader da’wah yang tidak siap menghadapi perubahan.perubahan tersebut. Kira-kira apa sebabnya? >>Bismillah. Saya fikir penyebabnya terletak pada kesalahan kader da’wah dalam memandang dunia kampus itu sendiri. Terlalu menganggap dunia kampus sebagai tempat yang streril atau tempat mengisolir diri dari keharusan mengenal tata pergaulan seperti yang terjadi pada dunja kerja. Di dalam kampus kita terlalu memilih lingkungan yang seragam. Hal itu tidak akan menjembatani proses untuk mengenal dunia kerja. Sebab dunia kerja dikenal sebagai dunia yang sangat ‘bebas’ (Plural). Sebagai contoh, seorang akuntan yang bekerja di sebuah perusahaan multinasionatl akan menemukan kondisi yang berbeda, dengan dahulu di kampus yang mungkin hanya bertemu dan berinteraksi dengan saudaranya sendiri dengan kenikmatan ukhuwah dan ‘berikhwah’. Akhirnya ia tidak terbiasa untuk tetap menjaga identitasnya dalam situasi yang sangat berbeda. Kita selalu diingatkan bahwa prinsip dalam berda’wah atau berinteraksi adalah yakhtalitun walaakin yatamayyadzuun, berbaur tapi tidak luntur. Seperti apa yang digambarkan Ust. Syaikh Yusuf Qaradhawi, yaitu seekor ikan di dalam laut yang begitu asin namun daging ikan itu tetap tawar, atau tidak terpengaruh dengan asinnya laut. Ikan itu dapat bertahan, sebab ia ‘hidup’ dan terbiasa dengan kehidupan seperti kita (adaptif). Karena itu hidupkan jiwa kita dimana saja tidak hanya di kampus, tetapi juga dalam setiap kondisi termasuk dalam lingkungan yang heterogen. Saya menganggap lembaga-lembaga kampus yang heterogen seperti senat, klub-kkub diskusi atau beIajar dan olahraga menjadi tempat latihan yang cukup baik untuk menghindari ‘kekagetan’ yang berlebihan. Selain itu kita harus memiliki imunitas atau kekebalan agar siap menghadapi berbagai macam penyakit. Tetapi bukan steril. Kalau steril adalah sesuatu yang lingkungan sekitarnya itu bersih, dan akan tercemar kalau dipindahkan ke lingkungan yang kotor. Seperti sebuah gunting kedokteran atau alat untuk operasi, maka harus tetap dijaga jangan sampat keluar dari tempatnya yang sudah disterilkan sebab akan tercemar. Da’i itu tidak steril tapi ‘imun’. Artinya ‘vaksin Ruhul Islam’ menyebabkan ia memilki ketahanan untuk menghadapi segala macam situasi dunia yang ada di sekitan-tya. Dan hal inilah yang sebetulnya jika dimiliki sejak awal maka situasi dunia apapun ridak akan banyak mempengaruhi kita. Sebab Allah SWT memberikan janji kepada kita, “Subghatallah wa man ahsanu minallahi subghah…” celupan Allah. Siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah. (QS 2:138. red). Bila Allah telah memberikan iman dalam diri kita dan pribadi kita memiliki mekanisme untuk memeliharanya tentunya dengan berjamaah dan berinteraksi baik dengan orang ammah (umum, kebanyakan) di sekelilingnya maka Insya Allah akan memiliki daya tahan. Saya punya contoh, dahulu ketika kuliah ada orang yang begitu baik ketika kuliah. Namun pendiam, terkesan tidak mau bergaul dan terkesan menghayati nilai-nilai yang diterima itu sendiri tanpa ada proses dialog (da’wah). Tetapi ketika ia bekerja dan pindah ke lingkungan yang sangat berbeda dengan kampus, maka justru yang paling rusak adalah orang yang semacam ini. Ini yang tidak boleh. Setiap kita harus mendialogkan nilai-nilai yang kita miliki kepada masyarakat supaya kita bisa mempunyai cara untuk menangkis nilai-nilai lain yang ada di masyarakat. Kalau tidak pernah didialogkan dan diuji di dalam suatu komunitas yang heterogen akan menyebabkan orang mudah mengalami kejatuhan yang terkadang berlebihan. Dengan kalimat lain, bisa disebut bahwa salah satu akibat ketidaksiapan itu adalah orientasi pembinaan yang diterima cenderung mengarah kepada keterikatan kepada komunitas bukan kepada pematangan din kepada Islam. Bagaimana pendapat Ustadz? >>Ya, saya fikir seperti itu. Dalam tarbiyah Islamiyah itu kita diajarkan bahwa metode da’wah kita adalah metode da’wah Rasulullah atau metode Islam itu sendiri. Sebenarnya kesetiaan kita adalah kesetiaan kepada Islam, dien mulia ini yang dibawa oleh Rasulullah saw. Sehingga kita memandang keseluruhan ummat ini adalab satu kesatuan yang harus dikumpulkan dalam satu prosesi menuju jama’ah Muslimin atau Jama’atul Muslimin. Kita bisa menemukan semangat itu dalam kalimat yang keluar dari Imam Hasan Al-Banna, “Kalian adalah darah baru yang mengalir dalam tubuh ummat ini untuk menyegarkan mereka dengan Al-Qur’an”. Kalimat ini mengingatkan kita bahwa sebenarnya dalam diri kita ada suatu kesadaran yang sangat kuat bahwa tarbiyah atau proses pematangan diri di dalam da’wah Islam dalam rangka menyadarkan seluruh ummat in. Juga dalam rangka bergaul dan bergabung dengan mereka, menggunakan potensi yang ada dalam tubuh umat ini agar mereka bangkit bersama-sama Jadi, jangan berfikir bahwa da’wah Islam ini hanya diperjuangkan oleh para da’i yang sudah pada level tertentu saja. Tetapi, da’wah ini harus didukung oleh semua orang dengan potensinya masing-masing Kalau seseorang yang memiliki harta namun keislamannya belum begitu tinggi, maka dengan hartanya ia menyumbang untuk Islam. Begitupun seseorang yang memiliki keahlian-keahlian khusus, maka ia bisa menyumbang skillnya itu. Lalu apa saja yang harus dipersiapkan untuk menghadapj dunia pasca kampus, terutama dalam konteks da’wah di daIamnya? >>Saya sangat setuju dengan ajaran Rasulullah SAW bahwa struktur negara Islam dibuat kecil, supaya tidak boleh banyak orang yang bekerja di pemerintahan Artinya Islam menghendaki, sebagaimana yang diutarakan Rasulullab SAW bahwa sembilan diantara sepuluh pintu rezeki itu ada pada perniagaan atau perdagangan. lmam, Hasan Al-Banna dalam banyak kesempatan tidak menganjurkan orang untuk menjadi pegawai negeri. Beliau menganjurkan agar memiliki usaha dengan tangannya sendiri. Tentu tidak semua orang harus begitu. Tetapi dalam masyarakat kita ternyata tidak terlalu banyak yang seperti itu (berfikir untuk berusaha dengan usaha tangannya sendiri. red). Setiap orang yang kuliah harapannya bisa duduk di belakang meja dan berkerja untuk orang lain. Saya tidak sepakat dengan orang yang berpikir seperti ini. Setiap orang seharusnya sejak dini, berusaha sebagaimana Rasulullah saw dalam rute perjalanan hidupnya. Sejak belasan tahun Rasulullah saw sudah mulai berdagang. Sebelumnya di usia enam tahun, Allah ajarkan tentang prinsip-prinsip kepemimpinan dengan mengernbala Lalu pada usia yang mulai agak dewasa oleh pamannya, beliau diajak berkeliling mencari daerah-daerah perdagangan pada tingkat international (Jazirah Arab). Hal tersebut membuat Rasulullah saw menjadi orang yang mampu mencari uang tanpa bergantung kepada struktur kekuasaan tertentu atau struktur kelembagaan besar. Entah itu konglomerat atau perusahaan multinasional. Artinya dengan tangannya sendiri beliau menghasilkan uang. Hendaknya dalam fikiran seorang Muslim tertanam jiwa pemimpin seperti itu. Ia selalu berfikir apa yang bisa ia pimpin dan berfikir bagaimana bisa membuat usaha yang di sana ia bisa bekerja lebih optimal dan menciptakan masyarakat. Dengan cara menciptakan lapangan kerja dan membangun tata ekonomi baru. Begitu seharusnya cara berfikir seorang Muslim Jangan justru mengekor. Kalaupun pada tahapan pertama, kita belum mampu untuk berbuat seperti itu, karena mungkin pengambjlan resiko yang cukup besar. Tapi yang mungkin bisa kita lakukan pada tahap awal ini adalah mendinamisir lingkungan kerja sehingga kita tidak terjebak pada rutinitas. Sebab rutinitas ini sangat berbahaya, yang menyebabkan orang kehilangan dinamika dan juga kehilangan ruh dalam hidup ini. “Semua orientasi akan terebut oleh pekerjaan rutin tadi. Dampak yang cukup kronis adalah mampu menghadirkan kebosanan, bukan hanya kebosanan dalam berislam tapi juga yang lebih parah yaitu kebosanan hidup. Rutinitas inilah yang sebenarnya menyiksa ”ujar salah satu pendiri Partai Keadilan ini menginggatkan kader da’wah agar menjauhi rutinitas dan tetap menjaga orientasinya. Chairman CYFIS (Center of Youth, Future and International Studies) pun menyarankan agar tetap melanggengkan silaturahim dengan sesama, menguatkaii ibadah harian dan kegiatan-kegiatan yang akan memperkuat ruhiyah kita. Ada yang berpendapat bahWa aktivitas kerja yang ‘full time’ mengakibatkan kesempatan untuk membina diri menjadi terbatas. Bagaimana menurut Ustadz? >>Dalam dunia kerja rutinitas itu yang membuat orang menjadi stagnan atau kehilangan daya berkembangnya atau inovasinya. Rutinitas kerja dari mulai absen sampai pulang terus-menerus seperti ini membuat orang kurang menikmati bunga kehidupan. Kalau kita menjadi pegawai atau karyawan yang seperti itu, maka Islam akan melengkapi bunga hidup kita tadi. Oleh karenanya silaturahirn dengan saudara-saudara kita tidak boleh terputus. Begitupun amalan rutin kita yang membuat ruhiyah kita menjadi kuat bertahan menghadapi hidup. Kegiatan-kegiatan lain yang juga tidak boleb berhenti adalah rihlah yang bersifat rekreasif, baik bersama keluarga maupun kawan-kawan dekat. Selain itu juga aktivitas-aktivas keseharian yang standar dilakukan oleh seorang muslim. Semua itu harus memiliki nuansa dinamika yang berkembang. Kalau tidak itu akan menyebabkan munculnya rutinitas pula yang membosankan. Kadang kala orang yang bekerja di suatu tempat, terutama perusahaan-perusahaan asing yang memasang target bagi siapa yang bekerja lebih aktif akan mendapat bonus bulanan yang lebih besar. Ini yang menyebahkan tingkat kompetisi di lingkungan kerja itu makin tinggi. Dengan kata lain waktu dan rutinitas adalah fungsi dan uang dan pembayaran. lnilah yang menyebabkan munculnya perasaan yang membandingkan antara kegiatan kerja dengan aktivitas keislaman. Jika ia bekerja di kantor dan aktif maka gaji akan besar, sebaliknya jika memilih silaturahim atau mengikuti kegiatan keislaman gajinya tidak nambah, malah mengeluarkan uang. Perasaan komparasi itu kadang-kadang sering muncul dalam dir kita. lnilah dampak dari dunia yang sangat kapitalistik. Semua waktu diukur dengan uang. Istilah populernya “Time is money”. Yang lebih berbahaya adalah jika seseorang yang belum memiliki kesadaran tentang nikmat waktu yang Allah SWT anugerahkan kepadanya dan bagaimana mengelolanya agar kita tidak terjebak dalani rutinitas. Hal ini akan merubah pandangan orang itu dari ibadah dalam hidup menjadi sekedar mencari uang. Saya melihat hal tersebut juga mulai terjadi pada ‘teman-teman kita’. Bagaimana evaluasi Ustadz terhadap orientasi da’wah kampus saat ini yang dianggap sebagai. tempat yang strategis menempa kader da’wah agar slap menghadapi da’wah profesional pasca kampus? Saya melihat da’wah kampus semakin hari semakin memiliki daya baca yang baik terhadap situasi. Sehingga saya optimis teman-teman itu tumbuh semakin ‘rileks’ (tenang dan alami) dalam mengatur waktu dan menjalankan aktivitas. Pemahaman untuk tidak mendikotomikan kuliah dengan da’wah antara tarbiyah dengan duduk membaca di perpustakaan juga sudah mulai tumbuh. Dahulu seolah-olah kita memang membuat dikotomi ini. Kalau kita aktif kuliah maka da’wah dikorbankan, begitu sebaliknya. Sekarang teman-teman lebih rileks. Justru karena itu kita bisa meraih prestasi di kedua sisi tersebut yaitu kuliah dan da’wah. Sebab perbedaan kita sebagai aktivis da’wah di kampus dengan orang lain adalah kita memiliki cita-cita besar, cita-cita peradaban dan cita-cita sebagai khalifatullah filardhi. Sementara orang lain hanya berfikir bagaimana lulus dengan haik, bisa diserap oleh pasar kerja dan mendapatkan gaji yang besar. Kita tidak boleh kalah dalam kemampuan memanage waktu, sehingga dua tugas besar yang mungkin orang lain tidak sanggup untuk mengerjakannya kita bisa sanggup menunaikannya. Dengan tidak mendikotomikan dua hal tersebut justru akan saling melengkapi. Kemampuan kira untuk memobilisir da’wah menyebabkan nilai akademis kita berkembang karena dalam da’wah kira mendapatkan skill-skill lain. Misalnya kemampuan presentasi, kemampuan untuk meyakinkan orang lain dalam sebuah diskusi, dan sebagainya. Selain itu juga kemampuan konsentrasi, karena seorang muslim yang memiliki kedalaman ruhani akan mampu mengkonsentrasi dirinya lebih daripada orang lain. Sebaliknya juga begitu. Dengan prestasi akademis yang baik maka da’wah kita akan mudah diterima orang lain. Kita harus paham bahwa da’wah ini diusung oleh orang-orang yang memiliki prestasi dalam hidupnya, bukan orang-orang yang gagal. baik.dia sehagai seorang pedagang pekerja, cendikiawan, pemimpin politik atau apapun. Pesan-pesan khusus kepada kader da’wah? >>Saya ingin menegaskan agar kita menggunakan waktu kita di kampus sebagai waktu yang disiapkan Allah kepada kita untuk belajar dan mengalami masa-masa muda yang penuh semangat dan heroisme. Waktu itu harus digunakan lebih optimal. Di kampuslah kita memiliki kesempatan untuk berfikir mau jadi apa kelak. Ingin berperan apa dalam da’wah ini dan bagaimana mengelola diri agar cira-cira da’wah itu tercapai. Kalau ada orang yang ingin menjadi orang kaya agar kontribusi da’wahnya dalam bidang maal (harta) bisa optimal. Rancanglah dari sekarang! Belajarlah untuk membuka usaha. Kampus bisa dijadikan tempat latihan berbisnis kecil-kecilan. Entah itu fotokopi, bisnis buku, pakaian dan sebagainya. Dari sini tangga-tangga menuju ke sana mulai tersusun rapi, lebih tertata dan lebih terencana. Semua ito tentu saja tidak akan tercapai kecuali dengan pertolongan Allah, namun alangkah lebih baiknya jika itu semua direncanakan. “Masa di kampus harus dijadikan titik berangkat untuk melihat masa depan kit Iebih komprehensif. Entah itu, dunia kerja, masa menikah dan masa tua sekalipun”, ujar Alumni FEUI ini. Diakhiri perbincangan beliau menegaskan bahwa masa kuliah adalah masa terbaik untuk merencanakan semua itu. Kita harus menjadi sesuatu. Menjadi manusia terbaik yaitu yang paling banyak benmanfaat bagi orang banyak. Kampus menjadi tempat yang tepat bagi kita untuk duduk di meja belajar sambil menulis rencana-rencana di kertas rancangan masa depan. Bersiap-siaplah menghadapi masa depan yang cemerlang, wahai kader da’wah! Langkah ribuan kilo yang akan ditempuh, harus dimulai dari langkah pertama yang sederhana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

bantulah..Allah kan membantumu :)