Child Labor, it's wrong!!! but legal??
Translate from Business Ethics class task
Penggunaan anak-anak sebagai buruh oleh perusahaan multinasional di negara dunia ketiga untuk memperoleh biaya produksi yang murah dalam menciptakan produk yang akan dijual pasar barat, telah menjadi isu internasional pada awal tahun 1990an. PBB, dan ILO mengutuk kegiatan ini. NIKE secara khusus telah menjadi subjek dari kampanye public atas penggunaan buruhnya di Asia Tenggara.
Grup Adidas-Salomon adalah ritel dan pabrik pembuat keperluan olahraga. Banyak dari sepatunya dibuat di 6 pabrik yang ada di Vietnam. Pabrik tersebut bukan dimiliki secara langsung oleh Grup Adidas-Salomon, melainkan dimiliki oleh pebisnis asal Taiwan. Pabrik tersebut dilengkapi dengan kebutuhan dasar untuk bekerja.
Adidas mulai menyadari isu buruh anak-anak pada Piala Dunia 1998 saat mereka dituduh bahwa bola yang mereka ciptakan dijahit oleh buruh anak-anak di Sialkot, Pakistan. Menanggapinya, mereka membuat departemen kerjasama sosial dan lingkungan dan membuat code of conduct yang juga dikenal dengan SOE (Standards of Engagement). Pada buruh anak-anak, SOE menyatakan:
Partner bisnis tidak dijinkan untuk mempekerjakan anak-anak dibawah umur 15 tahun (atau dibawah 14 tahun jika negara bersangkutan mengijinkan), ataupun usia yang lebih muda dari usia dimana masih harus menempuh wajib sekolah di negara tertentu yang bisa saja lebih tinggi dari 15 tahun.
Di Vietnam, manajer lokal memutuskan untuk mengumumkan umur minimum untuk bekerja adalah 18 tahun. Peraturan ini tak hanya lebih ketat dari yang ditetapkan perusahaan secara global, namun juga lebih kuat dari hukum yang diterapkan oleh Vietnam dimana anak-anak tidak boleh bekerja full-time sampai mereka menyelesaikan wajib sekolahnya pada usia 15 atau 16 tahun.
Alasan mengadopsi standar etika yang lebih tinggi tak sepenuhnya karena kepedulian. Manajer lokal mencoba menjauhi publisitas buruk sehingga sama sekali tak berniat mempekerjakan anak-anak meskipun mereka dalam kesulitan seperti kemiskinan. Manajer lokal juga berpendapat bahwa masalah yang terjadi pada produksi sepatu tak pantas untuk orang dibawah usia 18 tahun.
Sebuah audit dilaksanakan pada pabrik di Vietnam. Pada satu pabrik ditemukan bahwa dari 3500 pegawai, terdapat 12 perempuan berusia 14 dan 15 tahun. Kebanyakan dari mereka telah bekerja di pabrik tersebut selama antara satu hingga tiga tahun. Mereka memperoleh pekerjaan tersebut dengan memberikan dokumen palsu milik bibi atau kakaknya. Selain itu, terdapat 130 staf berusia 16 dan 17 tahun. Mempekerjakan grup pada batas usia ini termasuk legal.
Manajemen lokal memutuskan bahwa anak-anak yang masuk dalam grup yang lebih muda akan disediakan program pendidikan secara full-time selama dua tahun, namun akan tetap dibayar sesuai dengan upah dasar. Grup yang lebih tua dari pekerja anak-anak akan disediakan program pendidikan part-time. Perusahaan sangat berniat untuk mematuhi persyaratan SOE sebagai bentuk penghargaan terhadap kontraknya dengan Adidas dimana 80 persen ouputnya dihasilkan.
Program pendidikan dilaksanakan oleh NGO yang berbasis di AS yang juga melakukan audit terhadap buruh anak-anak, meski biayanya ditanggung oleh manajemen local. Dengan terungkapnya kasus tersebut oleh NGO mungkin telah mendorong perusahaan untuk membayar program pendidikan dari 12 pegawainya, karena jika tidak, mereka akan dianggap tidak memedulikan anak-anak dan membebaskan mereka dari sekolah.
Seorang guru asal Vietnam dalam sebuah kelas tepat disebelah pabrik yang dilengkapi dengan baik, mengajar 12 anak-anak tersebut. Pada pagi hari mereka belajar secara formal. Anak-anak tersebut diharapkan kembali ke kelas di siang hari, namun mereka tak pernah kembali. Pabrik akhirnya memutuskan untuk mengajari mereka di pabrik, karena jika mereka dikirim ke sekolah formal, mereka ditakutkan akan lari dan mencari pekerjaan di pabrik lain. Anak-anak tersebut mempercayai kalau mereka berada di “surga”. Kenyataan bahwa mereka dibayar untuk dididik hampir mustahil untuk dipercayai. Apa pendapat para pekerja yang lain tak pernah disebutkan.
Wrong...but Legal??
(analisis)

Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Di beberapa negara, hal ini dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Pemilik perusahaan dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun ini akan tergantung dari peraturan negara tersebut, seperti yang terjadi pada kasus diatas. Batas minimum usia pekerja akan berbeda di setiap Negara, tergantung dari cara memandang Negara itu mengenai kedewasaan dan usia wajib belajar di Negara tersebut.
Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut.
Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.
Kasus memperkerjakan anak seperti ini acapkali terjadi pada Negara-negara berkembang dimana faktor ekonomi keluarga si pekerja buruh di bawah umur ini jelas turut menyebabkan mereka –mau tak mau- menjadi pekerja di pabrik sekitar mereka. Tak dapat dipungkiri kebiasaan memperkerjakan anak sudah terjadi di kalangan menengah ke bawah dan ini tentunya juga terjadi akibat dari ketidakmampuan keluarga si anak untuk menyekolahkan mereka.
Ini akan tergolong dalam kategori wrong but legal dalam etika bisnis. Wrong karena kesalahannya terdapat pada anak-anak yang dipekerjakan menjadi buruh tersebut. Usia sepentaran mereka (<18 tahun) seharusnya masih bersekolah, menuntut ilmu yang memang hak mereka. Namun hak itu direnggut lantaran mereka harus bekerja atau bahkan menjadi tulang punggung dan pencari nafkah bagi keluarga mereka.
Tapi ini juga termasuk Legal, karena di beberapa Negara batas minimum pekerja-lah yang membolehkan usia dibawah 18 tahun untuk bekerja. Survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) beberapa waktu lalu mengungkapkan ada sekitar 2,6 juta pekerja anak di seluruh Indonesia, yang bekerja di berbagai sector (2009). Dalam buku Pengantar Etika Bisnis oleh Prof. Dr. Kees Bertens, MSC., disebutkan bahwa dalam Convention on The Rights of The Child yang diterima dalam sidang umum PBB pada 1989 diserahkan kepada masing-masing Negara anggota untuk menetapkan usia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja”[Pasal 32:2(a)].
Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) pada 1973 mengeluarkan konvensi tetntang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Di situ Negara-negara anggota ILO dianjurkan untk meningkatkan usia minimum. Sebagai patokan dikatakan mereka harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Tetapi rupanya banyak Negara yang telah ingkar dari konvensi ini. Indonesia saja baru mensahkan konvensi teresbut pada 1999 dan menetapkan usia minimum pada 15 tahun. Bahkan sebelumnya berdasarkan undang-undang dari 1951, batas minimum usia pekerja ditentukan 14 tahun. Mungkinkah nantinya semakin hari batas minimum itu akan turun?? Semoga tidak.
Penggunaan anak-anak sebagai buruh oleh perusahaan multinasional di negara dunia ketiga untuk memperoleh biaya produksi yang murah dalam menciptakan produk yang akan dijual pasar barat, telah menjadi isu internasional pada awal tahun 1990an. PBB, dan ILO mengutuk kegiatan ini. NIKE secara khusus telah menjadi subjek dari kampanye public atas penggunaan buruhnya di Asia Tenggara.
Grup Adidas-Salomon adalah ritel dan pabrik pembuat keperluan olahraga. Banyak dari sepatunya dibuat di 6 pabrik yang ada di Vietnam. Pabrik tersebut bukan dimiliki secara langsung oleh Grup Adidas-Salomon, melainkan dimiliki oleh pebisnis asal Taiwan. Pabrik tersebut dilengkapi dengan kebutuhan dasar untuk bekerja.
Adidas mulai menyadari isu buruh anak-anak pada Piala Dunia 1998 saat mereka dituduh bahwa bola yang mereka ciptakan dijahit oleh buruh anak-anak di Sialkot, Pakistan. Menanggapinya, mereka membuat departemen kerjasama sosial dan lingkungan dan membuat code of conduct yang juga dikenal dengan SOE (Standards of Engagement). Pada buruh anak-anak, SOE menyatakan:
Partner bisnis tidak dijinkan untuk mempekerjakan anak-anak dibawah umur 15 tahun (atau dibawah 14 tahun jika negara bersangkutan mengijinkan), ataupun usia yang lebih muda dari usia dimana masih harus menempuh wajib sekolah di negara tertentu yang bisa saja lebih tinggi dari 15 tahun.
Di Vietnam, manajer lokal memutuskan untuk mengumumkan umur minimum untuk bekerja adalah 18 tahun. Peraturan ini tak hanya lebih ketat dari yang ditetapkan perusahaan secara global, namun juga lebih kuat dari hukum yang diterapkan oleh Vietnam dimana anak-anak tidak boleh bekerja full-time sampai mereka menyelesaikan wajib sekolahnya pada usia 15 atau 16 tahun.
Alasan mengadopsi standar etika yang lebih tinggi tak sepenuhnya karena kepedulian. Manajer lokal mencoba menjauhi publisitas buruk sehingga sama sekali tak berniat mempekerjakan anak-anak meskipun mereka dalam kesulitan seperti kemiskinan. Manajer lokal juga berpendapat bahwa masalah yang terjadi pada produksi sepatu tak pantas untuk orang dibawah usia 18 tahun.
Sebuah audit dilaksanakan pada pabrik di Vietnam. Pada satu pabrik ditemukan bahwa dari 3500 pegawai, terdapat 12 perempuan berusia 14 dan 15 tahun. Kebanyakan dari mereka telah bekerja di pabrik tersebut selama antara satu hingga tiga tahun. Mereka memperoleh pekerjaan tersebut dengan memberikan dokumen palsu milik bibi atau kakaknya. Selain itu, terdapat 130 staf berusia 16 dan 17 tahun. Mempekerjakan grup pada batas usia ini termasuk legal.
Manajemen lokal memutuskan bahwa anak-anak yang masuk dalam grup yang lebih muda akan disediakan program pendidikan secara full-time selama dua tahun, namun akan tetap dibayar sesuai dengan upah dasar. Grup yang lebih tua dari pekerja anak-anak akan disediakan program pendidikan part-time. Perusahaan sangat berniat untuk mematuhi persyaratan SOE sebagai bentuk penghargaan terhadap kontraknya dengan Adidas dimana 80 persen ouputnya dihasilkan.
Program pendidikan dilaksanakan oleh NGO yang berbasis di AS yang juga melakukan audit terhadap buruh anak-anak, meski biayanya ditanggung oleh manajemen local. Dengan terungkapnya kasus tersebut oleh NGO mungkin telah mendorong perusahaan untuk membayar program pendidikan dari 12 pegawainya, karena jika tidak, mereka akan dianggap tidak memedulikan anak-anak dan membebaskan mereka dari sekolah.
Seorang guru asal Vietnam dalam sebuah kelas tepat disebelah pabrik yang dilengkapi dengan baik, mengajar 12 anak-anak tersebut. Pada pagi hari mereka belajar secara formal. Anak-anak tersebut diharapkan kembali ke kelas di siang hari, namun mereka tak pernah kembali. Pabrik akhirnya memutuskan untuk mengajari mereka di pabrik, karena jika mereka dikirim ke sekolah formal, mereka ditakutkan akan lari dan mencari pekerjaan di pabrik lain. Anak-anak tersebut mempercayai kalau mereka berada di “surga”. Kenyataan bahwa mereka dibayar untuk dididik hampir mustahil untuk dipercayai. Apa pendapat para pekerja yang lain tak pernah disebutkan.
Wrong...but Legal??
(analisis)

Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Di beberapa negara, hal ini dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Pemilik perusahaan dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun ini akan tergantung dari peraturan negara tersebut, seperti yang terjadi pada kasus diatas. Batas minimum usia pekerja akan berbeda di setiap Negara, tergantung dari cara memandang Negara itu mengenai kedewasaan dan usia wajib belajar di Negara tersebut.
Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut.
Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.
Kasus memperkerjakan anak seperti ini acapkali terjadi pada Negara-negara berkembang dimana faktor ekonomi keluarga si pekerja buruh di bawah umur ini jelas turut menyebabkan mereka –mau tak mau- menjadi pekerja di pabrik sekitar mereka. Tak dapat dipungkiri kebiasaan memperkerjakan anak sudah terjadi di kalangan menengah ke bawah dan ini tentunya juga terjadi akibat dari ketidakmampuan keluarga si anak untuk menyekolahkan mereka.
Ini akan tergolong dalam kategori wrong but legal dalam etika bisnis. Wrong karena kesalahannya terdapat pada anak-anak yang dipekerjakan menjadi buruh tersebut. Usia sepentaran mereka (<18 tahun) seharusnya masih bersekolah, menuntut ilmu yang memang hak mereka. Namun hak itu direnggut lantaran mereka harus bekerja atau bahkan menjadi tulang punggung dan pencari nafkah bagi keluarga mereka.
Tapi ini juga termasuk Legal, karena di beberapa Negara batas minimum pekerja-lah yang membolehkan usia dibawah 18 tahun untuk bekerja. Survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) beberapa waktu lalu mengungkapkan ada sekitar 2,6 juta pekerja anak di seluruh Indonesia, yang bekerja di berbagai sector (2009). Dalam buku Pengantar Etika Bisnis oleh Prof. Dr. Kees Bertens, MSC., disebutkan bahwa dalam Convention on The Rights of The Child yang diterima dalam sidang umum PBB pada 1989 diserahkan kepada masing-masing Negara anggota untuk menetapkan usia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja”[Pasal 32:2(a)].
Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) pada 1973 mengeluarkan konvensi tetntang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Di situ Negara-negara anggota ILO dianjurkan untk meningkatkan usia minimum. Sebagai patokan dikatakan mereka harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Tetapi rupanya banyak Negara yang telah ingkar dari konvensi ini. Indonesia saja baru mensahkan konvensi teresbut pada 1999 dan menetapkan usia minimum pada 15 tahun. Bahkan sebelumnya berdasarkan undang-undang dari 1951, batas minimum usia pekerja ditentukan 14 tahun. Mungkinkah nantinya semakin hari batas minimum itu akan turun?? Semoga tidak.
Thank You Infonya bermanfaat banget :)
BalasHapus