Menjadi Aktivis Prestatif
nyari" tulisan yang dulu mau dipost tp ragu", tulisan berikut disadur dari banyak sumber, edit dan tadaaaaaa....here we go..
"… Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al-Mujadillah: 11)
Perubahan yang dikehendaki dakwah demi tegaknya peradaban Islam menembus wilayah individu-individu, masyarakat, dan negara sampai terbangunnya peradaban Islam di muka bumi, selain membutuhkan waktu yang sangat panjang hingga mampu melampaui umur individu bahkan umur sebuah generasi, juga membutuhkan sumber daya manusia di semua lapisan masyarakat, di semua sektor kehidupan dengan semua jenis keahlian dan potensi, juga dibutuhkan SDM yang qowiy (kuat) secara fisik, komitmen dalam dakwah dan jamaah, serta memiliki energi serta semangat ruhiyah yang tinggi.
Ust. Anis Matta, Lc., dalam bukunya ‘Menikmati Indahnya Demokrasi’ mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan dakwah untuk menyelesaikan peradaban harus dilakukan dalam empat tahap. Pertama, membangun kekuatan dan organisasi yang solid sebagai kekuatan yang akan menggerakan roda dakwah, inilah yang disebut mihwar tandzimi, dan kita sudah melewati masa ini.
Kedua, membangun basis sosial yang luas dan merata sebagai kekuatan pendukung dakwah. Kaidah dakwah mengatakan ‘yaftalitun yatamayazun’ berbaur dan mewarnai, inilah yang disebut mihwar sya’bi, dan kita pun telah melewati era jahriyah jamahiriyah ini. Kalau basis organisasi (tandzimi) berorientasi pada kualitas maka basis sya’bi berorientasi pada kuantitas.
Ketiga, membangun berbagai institusi/ lembaga/wajihah untuk mewadahi pekerjaan-pekerjaan dakwah di seluruh sektor kehidupan dan seluruh segmen masyarakat. Di tataran kampus misalnya, ada namanya Lembaga Dakwah Kampus (LDK) atau Lembaga Media Islami untuk mewadahi aktivitas kerohanian mahasiswa, ada lembaga siyasi: BEM, HIMA, pergerakan, partai untuk mewadahi kegiatan-kegiatan politik mahasiswa, ada juga wajihah akademik: Fossei, Forsima, MITI, ESC, LKM, dll untuk mewadahi kegiatan-kegiatan akademik mahasiswa. Dan inilah yang dinamakan mihwar muasasi, dan dakwah kita sedang berada dalam fase ini sekarang. Kalau dalam tahap sya’bi, kader dakwah disebar ke masyarakat untuk ‘tampil cantik’ di hadapan masyarakat (begitu kata Ust. Pradipto), maka dalam tahap muasasi kader disebar ke seluruh institusi (wajihah kalau istilah di kampus) yang ada. Dengan begitu, terbentuklah jaringan aktivis dakwah di seluruh institusi/wajihah yang strategis, sehingga setiap institusi selaras, dan massif dalam visi, misi dan tujuan yang sama, yakni membangun kehidupan bernegara dan masyarakat kampus yang lebih Islami.
Keempat, aktivitas dakwah ini sampai pada tingkatan institusi negara, inilah yang disebut mihwar dauli. Namun kaidah yang harus dipahami pula oleh aktivis dakwah adalah bahwa negara: partai, pergerakan, penguasaan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif atau atau kalau dalam tataran kampus: BEM, LDK, Himpunan, bahkan menjadi seorang akademisi di kampus sekalipun bukanlah tujuan akhir. Lembaga-lembaga itu hanyalah wasilah (sarana). Jika untuk mencapai tujuan akhir yakni tegaknya dinullah di muka bumi ini membutuhkan penguasaan wasilah-wasilah tersebut, maka penguasaan wasilah atau masuknya kader dakwah ke dalam wasilah-wasilah yang ada, menjadi suatu kewajiban, kaidah fikih menjelaskan maa laa yatimmu al wajibu illa bihi fahuwa al wajibu (sesuatu yang tidak sempurna bagi suatu kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib).
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa saat ini dakwah kita sedang memasuki mihwar muasasi yakni membangun berbagai institusi sebagai sarana untuk mewadahi pekerjaan-pekerjaan dakwah yang sifatnya lebih umum dan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Termasuk dalam tuntutan formalitas sebenarnya adalah jenjang pendididkan kader dakwah yang mau tidak mau akan menjadi publik figur di masyarakat. Afwan, jika dulu pada era tandzimi banyak aktivis dakwah kampus yang harus meninggalkan kuliahnya atau molor lulus kuliah bahkan ada mungkin hampir di DO (drop out) karena alasan tuntutan dakwah, maka di era sekarang ini tidak ada alasan bagi kader untuk meninggalkan kuliah atau molor lulus kuliah (maksimal 5 tahun). Kuliah harus diselesaikan dengan nilai yang setinggi-tingginya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (tetapi jangan lupa untuk tetap berkarya dan melahirkan generasi. Nah, itulah bedanya aktivis dakwah kampus dengan mahasiswa biasa. Bila mungkin, harus terus ke jenjang yang lebih tinggi, jenjang magister (S2) atau bahkan doktor (S3). Jika bingung karena masalah biaya, maka sering-seringlah mengunjungi internet, bangun networking dengan ikut milis atau yang lainnya, Insya Allah info-info tentang beasiswa sangat banyak. Bagi yang sudah pada luluspun rajin-rajinlah mengunjungi internet karena info-info lowongan kerja Insya Allah banyak sekali (so aktivis dakwah tidak boleh gaptek, harus melek teknologi!).
Wajihah-wajihah akademik seperti disebutkan di atas harapannya dapat diorientasikan pada wilayah spesialisasi akademik mahasiswa. Dalam ranah ini, aktivis dakwah kampus juga tetap berperan aktif dalam lingkaran dakwah akademik atau dakwah ilmi. Di mana forum-forum akademik yang dibentuk tidak sekedar belajar ilmu-ilmu sains atau sosial tapi juga ada sisipan nashrul fikrah di dalamnya.
Selain tuntutan kapasitas keilmuan, jenjang pendidikan pun terkait dengan ‘nilai jual’ kader dakwah di hadapan publik, lebih khusus masyarakat. Jika zaman dahulu orang dihormati karena gelar kebangsawanannya, maka di zaman sekarang orang dihormati karena gelar akademik yang disandangnya. Tapi menurut saya, itu saja tidak cukup apalagi kita berada di tengah-tengah masyarakat kampus yang intelek, harus ada yang kita tonjolkan, harus ada ‘nilai jualnya’. Apakah itu? Ya .. prestasi tentunya. Aa Gym mengatakan bahwa muslim yang prestatif bukan hanya dinilai dari knowlwdge-nya saja, bukan hanya dilihat dari intelegence-nya saja. Muslim yang prestatif adalah muslim yang mampu mensinergikan antara ilmu, iman, dan amal. Konteksnya, akademik oke, tarbiyah oke, organisasi oke, dakwah oke… dan satu lagi maisyah juga oke (meski baru belajar). So sudah terpikirkan apa yang akan ikhwah lakukan?
Dalam tataran kampus misalnya, syarat menjadi calon presiden mahasiswa atau ketua BEM harus memiliki IPK minimal 3. Hal lain misalnya untuk pengajuan beasiswa, asisten lab, tentor tutorial, melamar pekerjaan atau bahkan syarat untuk S2 rata-rata adalah IPK 3. Kecerdasan seseorang memang tidak bisa diukur dari nilai nominal saja, itu hanyalah salah satu syarat agar lebih mudah menembus sektor-sektor publik. Bu Ade Ratnasari (dosen Teknik Informatika Saintek) saat mengisi training yang diadakan oleh Forsmart Saintek (sekarang FKIS) mengatakan bahwa tatkala seseorang memasuki dunia pascakampus (ex: dunia kerja/profesi) agar mudah diterima maka harus memiliki 2 keahlian, pertama soft skill (kemampuan manajerial, membangun networking, komunikasi efektif, dsb), kedua hard skill (IPK yang bagus, TOEFL, TOAFL, dll). Lebih jauh beliau mengatakan ternyata yang berpengaruh cukup signifikan adalah soft skill. Namun untuk memperoleh keahlian ini tentu saja tidak dapat diperoleh di bangku kuliah, maka belajar berorganisasi, dakwah dan tarbiyah menjadi sangat penting untuk membangun skill ini. So... menjadi mahasiswa prestatif bukan berarti harus study oriented yang benar-benar hanya belajar, tapi juga diimbangi dengan aktivitas lain. Maka tugas para aktivis dakwah kampus saat ini adalah berprestasi setinggi-tingginya dengan tanpa mengesampingkan agenda-agenda dakwah. So... menjadi kader prestatif, kenapa tidak? Insya Allah ada jalan jika benar-benar berusaha.
Komentar
Posting Komentar